TUGAS PENGANTAR ILMU PETERNAKAN
MANFAAT TERNAK TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA
OLEH :
RACHMITA DEWI S. TOBA
L1A1 12 025
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2012
MANFAAT TERNAK UNTUK MANUSIA
1. Ternak
Sebagai Sumber Protein Hewani
Disadari
atau tidak sudah merupakan naluri manusia sejak awalnya memerlukan adanya
sumber protein hewani disamping buah-buahan, serelia dan umbi-umbian dalam
makanannya. Dalam perjuangan kehidupannya manusia sejak zaman purba telah
melakukan perburuan dan memungut hasil tumbuhan untuk bahan pangan utama. Pada
kehidupan “hunting and gathering” ini manusia perlu sumber protein hewani
berasal dari hewan buruannya dan buah-buahan serelia sebagai sumber
karbohidrat.
Dalam
evolusi peradaban manusia, sumber protein ternyata mempunyai peranan dominan.
Didaerah pantai dengan adanya perikanan (fishing and gathering) terdapat
masyarakat yang lebih menetap, sehingga dikemudian hari menyebabkan suatu
kehidupan sosial yang statis. Jika persediaan sumber perikanan terbatas mereka
mengupayakan penangkapan ikan dalam batas-batas relatif dekat dengan tempat
tinggalnya.Sifat ini sampai sekarang masih terlihat pada daerah pantai nelayan
di Indonesia. Akibatnya masyarakat nelayan di Indonesia juga susah untuk
mengembangkan perekonomiannya. Sebagai sumber karbohidrat lebih banyak
mengandalkan umbi-umbian dan labu. Sampai sekarang
nelayan Indonesia dapat dikelompokkan kepada “very lowest low income group”.
Pada masyarakat yang sumber proteinnya dengan berburu
(hunting and gathering), mereka lebih mobil dan mudah pindah dari satu tempat
kelokasi lain. Masyarakat ini lebih dinamis dan dengan ditemukannya tanaman
biji-bijian telah merubah kehidupannya menjadi menetap pada berbagai tempat.
Menurut Linores et al (1975) dalam
perkembangan berikutnya, ternyata tanaman biji-bijian inilah yang memungkinkan
munculnya peningkatan teknologi pertanian.
Gabungan
konsumsi sumber protein dan karbohidrat ini menjadi sumber kalori guna menopang
kehidupan manusia. Sampai tahun 1966, konsumsi sereal secara langsung dan tidak
langsung (melalui makanan ternak dan ternaknya yang dimakan manusia pada
berbagai negara, seperti pada Tabel 2.1 (Brown dan , Eckholn,1977).
Dengan naiknya pendapatan maka terdapat kecenderungan produk peternakan;
daging, telur dan susu makin banyak dikonsumsi. Di Amerika Serikat sejak
1910-1950 konsumsi daging 60 lbs/kapita/tahun, tetapi tahun 1972 naik dari 63
lbs menjadi 116 lbs. Konsumsi daging ayam Amerika Serikat 1910-1940 kira-kira
16 lbs/orang/tahun, tetapi sejak 1940 naik menjadi 50 lbs. Kenaikan ini adalah
karena daging ayam lebih murah dan adanya efisiensi produksi disamping adanya
kesadaran kholesterol yang tinggi pada daging sapi dan babi. Konsumsi susu
mencapai 900 lbs/kapita/tahun, dan menurun menjadi 555 lbs akhir-akhir ini
karena perubahan preferensi konsumen dengan adanya “coffee snack”. Begitu pula
konsumsi telur yang telah mencapai 400 butir/tahun.
Tabel 2.1.
Konsumsi Sereal Diberbagai Negara (lb/kapita) 1966.
Negara
|
Sereal langsung
|
Melalui Makan Ternak
|
Total Sereal
|
Konsumsi berapa kali India
|
Kanada
Amerika Serikat
Uni Soviet
Inggris
Argentina
Jepang
China
India
|
202
200
344
169
223
320
312
288
|
1.791
1.441
883
856
625
211
118
60
|
1.993
1.641
1.227
1.025
848
531
430
348
|
5
5
4
3
2
2
1
1
|
Indonesia diperkirakan setara dengan India.
Di Argentina dan Australia konsumsi daging mencapai 250
lbs/kapita/tahun; Perancis, Jerman Barat 200 lb dan Inggris 170 lb. Didaerah
negara berkembang konsumsi baru mencapai 5-20 lbs/kapita/tahun. Demikianlah
dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan (sadar gizi) maka konsumsi daging
ternak mencapai 200-250 lbs/kapita/tahun, kemudian stabil. Dinegara
berpendapatan rendah orang makan telur tidak lebih dari 2 butir sebulan.
Pembangunan Indonesia umumnya dan pembangunan peternakan khususnya,
selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan rakyat, meliputi lapangan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan
gizi masyarakat. Pembangunan dalam Repelita VI dan PJP II yang dilaksanakan
akan memberikan peluang dan harapan untuk mengejar ketinggalan dalam mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan dibandingkan bangsa lain yang telah lebih maju.
Sejak awal, manusia purba melakukan perburuan, penangkapan ikan guna
memenuhi kebutuhan akan protein hewani dalam makanannya, disamping memungut hasil
hutan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, serta mineral.
Disadari bahwa protein hewani mutlak diperlukan dalam makanan, karena tubuh
memerlukan asam-asam amino esensial yang tidak bisa disintesis oleh tubuh,
sehingga menjadikan protein hewani bernilai hayati tinggi.
Ciri khas dari protein hewani adalah lengkapnya asam-asam amino esensial
yang dikandungnya, dan tinggi nilai hayatinya. Biological Value mencerminkan
beberapa banyak zat N dari suatu protein dalam pangan yang dapat dimanfaatkan
tubuh untuk sintesis protein tubuh dan bagian-bagiannya. Dari semua bahan
pangan, telur memiliki nilai hayati paling tinggi (94-100). Semua protein asal
ternak hewani mempunyai nilai hayati di atas 80 (Hardjosworo dan Levine, 1987).
Dilaporkan oleh Campbell dan Lasley (1985) bahwa nilai hayati protein
ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensialnya. Protein hewani jauh lebih
komplek daripada protein nabati (jagung), diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Persentase Asam Amino Hasil Ternak dan Jagung (%-/100 gram
protein)
Asam Amino
|
Daging
|
Babi
|
Ayam
|
Susu
|
Telur
|
Jagung
|
Anginin*
Sistin
Histidin*
Isoleusin*
Leusin*
Lisin*
Metionin*
Penilalanin*
Threonin*
Triptofan*
Tirosin
Valin*
|
6,4
1,3
3,3
5,2
7,8
8,6
2,7
3,9
4,5
1,0
3,0
5,1
|
6,7
0,9
2,6
3,8
6,8
8,0
1,7
3,6
3,6
0,7
2,5
5,5
|
6,7
1,8
2,0
4,1
6,6
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
|
4,3
1,0
2,6
8,5
11,3
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
|
6,4
2,4
2,1
8,0
9,2
7,2
4,1
6,3
4,9
1,5
4,5
7,3
|
1,8
0,8
1,2
4,3
23,7
0,0
2,3
6,4
2,2
0,2
5,9
1,9
|
Total
|
52,8
|
46,4
|
48,5
|
64,1
|
63,9
|
50,7
|
* Asam Amino Esensial
Belakangan terungkap
bahwa protein asal ternak dan ikan sangat bertanggung jawab terhadap defisiensi
mental pada anak balita. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak-anak
prasekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi sub normal,
bahkan defisiensi (Monckenberg, 1971).
Selain itu ternyata tidak hanya untuk kecerdasan, protein hewani sangat
dibutuhkan untuk daya tahan tubuh sebagaimana dilaporkan oleh Shireki et al (1972), bahwa peranan protein
hewani dapat menjauhkan pekerja keras dan atlit dari sport anemia dengan
meningkatkan konsumsi protein hewani. Protein hewani juga berperan terhadap
daya tahan butir darah merah sehingga tidak mudah pecah dan mempercepat
regenerasi.
1.1 Konsumsi Protein Asal Ternak
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa tahun
2005, merupakan tantangan dan faktor dinamika yang penting. Apalagi kenaikan
jumlah penduduk diiringi oleh naiknya pendapatan masyarakat dari US $70 tahun
1969 menjadi sekitar US $700 pada akhir PJP I. Akibatnya dalam pemenuhan akan
pangan dan gizi, konsumsi keluarga mulai bergeser dari bahan nabati kebahan
pangan hewani.
Widya Karya Pangan dan Gizi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
menetapkan sektor peternakan hendaknya dapat memenuhi jumlah konsumsi empat
gram protein asal ternak/kapita/hari yang setara dengan 6,0 kg daging, 4,0 kg
telur dan 4,0 kg susu/kapita/tahun, walaupun target tersebut baru terpenuhi
71,25% pada 1989. Seterusnya Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1993 mentargetkan
penduduk Indonesia mengkonsumsi energi 2100 kkal / kapita / hari dan konsumsi protein asal ternak 6,0
gram/kapita/hari.
Perkembangan konsumsi daging, telur dan susu sejak tahun 1969-1994
diperlihatkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Perkembangan Konsumsi Daging, Telur dan Susu Tahun 1969-1994.
Komoditi
|
1969
|
1989
|
1994
|
Kenaikan %/tahun
|
Konsumsi/tahun/ribu ton
Daging
Daging dalam negeri
Daging Impor
Konsumsi/kapita/tahun (kg)
Daging
Telur
Susu
Konsumsi/kapita/hari (gr)
Daging
Telur
Susu
|
311.4
309.3
2.1
2.7
0.23
1.46
1.2
0.10
0.10
|
973.1
971.1
2.0
5.69
2.12
3.72
1.8
0.72
0.33
|
1483.6
1469.2
14.4
7.78
2.67
4.58
2.52
0.85
0.4
|
9,33
9,18
58,40
6,9
6,25
4,07
7,51
4,83
3,74
|
Jumlah
|
1.40
|
2.85
|
3.77
|
6,27
|
Ternyata konsumsi
protein hewani asal ternak masih cukup rendah, yaitu 3,77 gr/kapita/hari atau
87% dari target normal gizi 4,5 gr/kapita/hari. Bandingkan dengan ASEAN yang
telah mencapai 15 gr/kapita/hari. Pemerataan konsumsi protein asal ternak
memperlihatkan kesenjangan yang cukup besar. Jumlah penduduk yang telah
mencapai norma gizi 4,5 gr/kapita/hari barulah 18%, 78% masih dibawah 4,5 gr,
sedangkan sekitar 4% penduduk hampir tidak pernah mengkonsumsi protein asal
ternak. Adanya ketidakmerataan ini menyebabkan perlunya dua pola pemenuhan
gizi; melalui sadar pangan dan gizi serta penyuluhan gizi seimbang bagi yang
telah berlebihan. Menurut Tangendjaya (2002) konsumsi daging pada tahun 2002
telah mencapai 7,5 kg/kapita, telur 5,9 kg/kapita dan susu 6,2 kg/kapita, ini
ditopang oleh peningkatan produksi daging 2 %,
babi 3 % dan ayam 6,4 % / tahun. Saat
ini daging ayam memberikan
konstribusi 56%, sapi 23% dan babi 13%.
Menurut Hardjosworo dan Levine (1987) ada beberapa sebab kesulitan
mencapai standar gizi bagi masyarakat Indonesia, yakni;
1) Mahalnya harga pangan yang berasal dari produk
ternak diukur dari pendapatan masyarakat Indonesia. Mata rantai produksi hasil
ternak jauh lebih panjang daripada produksi nabati sebelum sampai ketangan konsumen.
Ternak memerlukan bahan makanan sebelum menghasilkan produknya. Untuk itu
diperlukan pakan yang mesti ditanam atau dibeli terlebih dahulu. Apalagi untuk
ternak impor, dimana kebanyakan pakan masih impor (tepung ikan, bungkil kedele,
jagung dan lainnya). Sedangkan ternak lokal (ayam buras, sapi dan kerbau) masih
rendah efisiensinya.
2) Tidak tersedianya produk ternak (daging, susu
dan telur) diseluruh pelosok Indonesia. Komoditi ini lebih menumpuk disekitar
kota, tetapi ditempat yang jauh kurang tersedia. Selain itu adanya jurang
antara pendapatan dan preferensi konsumen kota dengan desa. Adanya kenyataan
sulitnya transportasi antar kepulauan juga mempersulit pengadaan hasil ternak
sampai ketangan konsumen.
3) Masih terbatasnya produksi hasil ternak
Indonesia, baik daging, susu atau telur. Sampai sekarang untuk keperluan daging
dan susu masih memerlukan impor yang memerlukan devisa tidak sedikit. Untung
hal ini sudah agak teratasi oleh produksi unggas, tetapi tetap memerlukan impor
pakan ayam. Ayam buras dan itik hampir menyebar merata keseluruh
pelosok Insonesia.
4) Faktor keempat adalah selera selektif konsumen
terlepas dari faktor agama. Karena faktor kesukaan, banyak konsumen tidak bisa
beralih mengkonsumsi ayam ras, tetapi ayam kampung. Demikian pula introduksi
ternak non konvensional (kelinci, rusa, puyuh) kurang tersosialisasi.
Dibandingkan dengan negara barat yang telah maju ekonominya, mereka memiliki
variasi yang luas akan produk peternakannya.
Kendati produk peternakan relatif lebih mahal dibandingkan produk
nabati, tetapi pada hakekatnya jika ditinjau dari availabilitas asam amino
esensial protein hewani relatif jauh lebih menguntungkan dibandingkan sumber
protein nabati yang kaya akan protein, seperti dilaporkan oleh Campbell dan Lasley
(1985).
Tabel 2.4.
Jumlah Hari Yang Diperlukan Untuk
Memproduksi Sejumlah Setara Asam
Amino Esensial Dari 1 Acre Lahan Dari Beberapa Bahan Pangan.
Bahan Pangan
|
Hari yang dibutuhkan
|
1.
Daging sapi
2.
Daging babi
3.
Daging ayam
4.
Susu
5.
Corn flakes
6.
Oat meal
7.
Rye flour
8.
Wheat flour
(putih)
9.
Beras
10. Beras merah
11. Jagung kuning
12. Wheat flour (penuh)
13. Kacang/bean
14. Pea, split
15. Kacang kedele
|
77
129
185
236
354
395
485
527
654
772
773
877
1.116
1.785
2.220
|
Tabel 2.4. memperlihatkan betapa jauh lebih cepat
waktu yang diperlukan untuk memproduksi asam amino dari sumber ternak
dibandingkan dari produk tumbuhan. Apalagi jika produk tanaman tersebut mengandung anti protease seperti
kebanyakan sumber kacang-kacangan.
Diantara produk ternak itu sendiri, maka terlihat bahwa produksi susu
(sapi perah) relatif sangat efisien dalam pemanfaatan sumber energi, baik
energi matahari maupun energi dari makanan untuk menjadi produk sebagaimana
dilaporkan oleh Hodgson (1971) pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5.
Konversi Energi, Protein dan Makanan Terhadap Produksi Ternak (%).
Produksi Ternak
|
Konversi Energi
|
Konversi Protein
|
Persentase Produk/ intake makanan
|
Susu
Ayam Broiler
Telur Ayam
Daging Babi
Kalkun
Daging Sapi
Daging Kambing/domba
|
20
10
15
15
10
8
6
|
30
25
20
20
20
15
10
|
90
45
33
30
29
10
7
|
1.2. Produksi
Protein Asal Ternak
Perkembangan produksi daging rata-rata 9,2%, telur 6,95% dan susu 3,4%
sampai akhir Pelita V (Tabel 2.3), ternyata belum mampu memenuhi target
konsumsi di atas. Pada tahun 1989, Indonesia mengimpor daging sapi sebanyak
2000 ton, yang naik menjadi 14.000 ton pada tahun 1994, dan impor 365,2 ribu
ton susu, setara susu segar pada tahun 1989 yang naik menjadi 544,4 ribu ton
pada tahun 1994. Naiknya kebutuhan daging impor untuk memenuhi kebutuhan
perhotelan/turisme yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga
disebabkan oleh turunnya produksi ternak sapi, kerbau dan kambing (1993).
Konstribusi produksi daging pada
awal Pelita I didominasi oleh ternak ruminansia, yaitu 76,1%, non ruminansia 11,23% dan unggas 13,67%.
Keadaan ini berubah menjadi 40,26% asal ruminansia, 14,18% non ruminansia dan
45,56% unggas pada tahun 1989 dan peranan unggas semakin nyata dalam mensuplai
daging menjadi 59,6% pada tahun 1994, sedangkan daging ruminansia turun sampai
26,43% (Dirjen Peternakan, 1994). Pada awal Pelita I produksi telur asal ayam
buras 53,55%, ayam ras petelur 7,27% dan itik 39,17%, maka dewasa ini telah
berubah menjadi 16,64% ayam buras, 61,35% ayam ras, dan 22% telur itik. Keberhasilan peningkatan konsumsi walaupun
belum memenuhi target dan kenaikan produksi asal ternak didukung oleh
peningkatan populasi ternak itu sendiri seperti Tabel 2.3. Guna melihat peranan
masing-masing ternak terhadap perkembangan populasi disajikan populasi ternak
Indonesia dalam satuan ternak (Tabel 2.6 dan 2.7), dan dari kedua tabel ini
dapatlah dilihat seberapa besarnya ketimpangan antara kebuhan dan produksi yang
terjadi.
Tabel 2.6.
Produksi Daging, Telur dan Susu 1969-1994.
Komoditi
|
1969
|
1989 (ribu ton)
|
1994
|
Kenaikan %/ tahun
|
Daging
Telur
Susu
|
309.3
57.5
28.9
|
971.1
456.2
338.2
|
1469.2
580.2
338.6
|
9,2
6,95
3,47
|
Pengelompokan ternak menurut sifat fisiologisnya pada awal PJP I ialah
11.3 juta Satuan Ternak (ST) dengan struktur; 78% ruminansia, 10% non
ruminansia dan 12,9% unggas. Sampai akhir PJP I meningkat tiga kali , yaitu
32.4 juta ST dengan perubahan struktur; ruminansia 41,2%, non ruminansia 6,6%
dan unggas 52,2% ST.
Tabel 2.7. Populasi Ternak Indonesia 1969-1994 (ribu
ekor).
Jenis Ternak
|
1969
|
1994
|
Kenaikan/tahun (%)
|
Ruminansia:
Sapi potong
Sapi perah
Kerbau
Kambing
Domba
Non Ruminansia:
Babi
Kuda
Unggas:
Ayam buras
Ayam ras petelur
Ayam pedaging
Itik
|
6.447
52
2.940
7.544
2.908
2.875
642
61.788
688
7.200
|
11.010
330.
3.109
11.586
6.485
9.010
585
229.911
54.950
502.786
27.277
|
1,82
3,4
1,23
1,2
1,37
5,85
-3,71
3,8
7,08
19,17
2,38
|
Sumber: Dirjen Peternakan (1995
Sasaran pembangunan pertanian dalam
PJP II ialah terciptanya sektor pertanian yang maju, efisien dan tangguh. Hal
ini didasarkan oleh meningkatnya peranan sektor pertanian dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional, terpenuhinya kebutuhan akan pangan, meningkatnya
daya beli dan naiknya kemampuan penyediaan bahan baku untuk industri. Pada sisi
lain ialah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat pertanian,
penguasaan IPTEK dan keterpaduan sektor pertanian dengan sektor industri, jasa
serta beralihnya kegiatan pertanian menuju agroindustri dan agribisnis.
Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertanian maka dalam Repelita VI
sektor pertanian diperkirakan tumbuh rata-rata 3,4%/tahun. Untuk mencapai
pertumbuhan 3,4%/tahun diharapkan pertumbuhan tanaman pangan dan hortikultura
2,5%, peternakan 6,4%, perkebunan 4,2% dan perikanan 5,2%/tahun. Sasaran
penyerapan tenaga kerja 1.9 juta orang. Namun demikian sumbangan sektor
pertanian terhadap PDB akan turun dari 20,2% pada tahun 1993 menjadi 17,6% pada
tahun 1998.
Perkembangan peternakan selama PJP I tidak hanya meningkatkan populasi,
tingkat konsumsi protein asal ternak dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga
telah mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi ternak itu sendiri. Adanya
program perbaikan mutu genetik melalui persilangan, impor bibit unggul, sapi
bakalan, introduksi pakan unggul, konsentrat yang rasional, pencegahan penyakit
ternak serta pengelolaan yang rasional dan belakangan pengelolaan telah pula
mengarah pada agroindustri dan agribisnis telah mampu secara berangsur, namun
pasti meningkatkan produktivitas ternak setiap tahunnya.
Efisiensi produksi daging ternak ruminansia meningkat dari 26.6 kg
menjadi 40.39 kg/ST/tahun, kenaikan produktivitas 2,07% ternak non ruminansia
naik sebesar 5,8% dari 34.41 kg menjadi 84.30 kg/ST/tahun, dan ternak unggas
naik 2,18%/tahun, yaitu dari 26,70 kg/ST menjadi 41.27 kg/ST/tahun selama PJP
I.
Meningkatnya efisiensi produksi daging ternak ruminansia disebabkan oleh
berkembangnya usaha agribisnis sapi potong dengan bibit impor. Sampai tahun
1994 tiap tahunnya diimpor sapi bakalan sebanyak 80.000 ekor dengan nilai US
$45.000.000/tahun. Selain itu juga karena meningkatnya peternak yang beralih
usaha kepada usaha penggemukan sapi potong dengan pemeliharaan yang mengarah
kepada agribisnis, sapi sepenuhnya dikandangkan secara ekonomis dengan
pemberian konsentrat tinggi dan hijauan pakan bermutu. Tidak heran dewasa ini
mulai dirasakan kesulitan akan sapi bakalan yang akan digemukkan sehingga
terdapat trend kenaikan harga sapi dan daging sapi yang semakin tinggi tiap
tahunnya.
Pada ternak non ruminansia, terutama babi terjadi peningkatan
produktivitas yang sangat menonjol. Hal ini disebabkan berkembangnya peternakan
babi yang berorientasi ekspor dengan bibit unggul impor. Sampai tahun 1994
rata-rata ekspor babi sebanyak 185.000 ekor tiap tahunnya. Keunggulan
komparatif yang dimiliki babi sayangnya tidak bisa dimanfaatkan untuk konsumsi
protein asal ternak rakyat Indonesia yang mayoritas pemeluk agama islam.
Meningkatnya efisiensi produksi daging unggas berasal dari ayam broiler
yang berkembang sampai 12%/tahun pada akhir PJP I. selain naiknya populasi,
secara teknis disebabkan oleh semakin efisiennya produksi ayam pedaging, dimana
pada umur 7 minggu beratnya telah mencapai 3.050 gram dengan konversi 1,99.
2. Peranan Ternak Dibidang Pertanian
Selain sebagai sumber protein dan
kalori tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat negara maju, selain
memerlukan konsumsi pangan nabati, ternak
dimanfaatkan dibidang pertanian antara lain sebagai, sumber tenaga
kerja, pupuk, tabungan serta penambal resiko usaha tani.
2.1. Ternak Sebagai Sumber Tenaga Kerja
Inovasi pertanian yang sangat banyak menaikkan
kapasitas produksi pangan adalah digunakannya hewan untuk mengolah tanah. Hal
ini telah berlangsung setelah digunakannya irigasi sejak 3000 SM. Kemajuan baru
ini telah memungkinkan penggunaan bagian-bagian makanan kasar (roughage) bentuk
energi yang tidak dapat dicerna manusia, tetapi dapat dicerna oleh hewan
menjadi produk ternak yang kemudian dapat dimakan manusia.
Pemakaian binatang tarik telah memperbesar tenaga otot
manusia yang terbatas menjadi lebih besar untuk menghasilkan tanaman pangan. Dan bersamaan dengan penggunaan binatang tarik,
munculah kota-kota tua (Brown dan Ekholn, 1977).
Kendati
penggunaan mesin pertanian telah berkembang sampai batas-batas tertentu, ternak
tetap digunakan sebagai tenaga tarik dan tenaga kerja ditanah pertanian
(Indonesia, Laos, Thailand, Afrika dan India). Penggunaan sumber energi mesin
tampaknya hanya efisien pada lahan yang luas, sedangkan rata-rata luas garapan
petani di Asia dan Indonesia jauh dibawah 2 Ha perkeluarga. Penelitian oleh
Inns (1980) di Tanzania membuktikan penggunaan tenaga kerja ternak jauh lebih menguntungkan dibandingkan
traktor yang menghendaki paling sedikit lahan seluas 150 Ha. Potensi tenaga
kerja manusia, ternak dan traktor 50 KW diperlihatkan pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8.
Potensi Tenaga Kerja Manusia, Ternak dan 50 KW Traktor.
Uraian
|
Manusia
|
Kuda
|
Sapi
|
Keledai
|
Traktor 50 KW
|
Kecepatan (m/detik)
Tenaga (KW)
Jam Kerja (jam/hari)
Output Kerja (MJ)
|
-
0,20
6
4
|
1,0
0,50
6
10
|
1,0
0,50
5
9
|
1,0
0,40
4
6
|
2,5
25
8,24
720-2.160
|
* 1 KW = 1,34 Horse Power
Selain kemampuan di atas, tenaga ternak bisa juga
memberikan pupuk, anak dan dagingnya dalam bentuk “salvage value” sebesar 80%,
sedangkan traktor memerlukan biaya perawatan, solar dan oli yang tinggi dengan
masa pakai 5 tahun dan hanya menghasilkan salvage value 20%.
Penelitian Abbas dan Arifin (1990) didaerah
transmigrasi Pasir Pangarayan Riau, memperlihatkan penggunaan tenaga kerja
ternak sapi dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja manusia dan
meningkatkan serta pemerataan pendapatan petani/peternak.
Prestasi
kerja ternak proyek P3TK-IFAD yang mempekerjakan sapi, pada Tabel 2.8 dan
perbandingan output energi tenaga kerja pada Tabel 2.9.
Prestasi
kerja seperti di atas ternyata dapat memperkecil energi kerja yang dikerahkan
tenaga manusia terhadap produktivitas lahan. Perbandingan energi yang
dihasilkan ternak dan manusia terhadap produktivitas lahan sekitar 1:4,6 Ha
seperti terlihat pada Tabel 2.10. Angka ini sedikit lebih rendah dari prestasi
kerja ternak sapi yang dilaporkan oleh Inns (1980), yakni sebesar 5 jam/hari.
Tabel 2.9.
Prestasi Ternak Sapi
P3TK- IFAD di Lokasi Transmigrasi Pasir
Pangarayan, 1987.
Uraian
|
Prestasi
|
Hari kerja setahun
Kemampuan garap per ekor/tahun
Jumlah jam kerja/hari
Kemampuan garap sepasang/hari
Kemampuan garap sepasang/tahun
Output kerja per hari (Mega Joule)
Kemampuan garap per ekor/hari
|
30,64 hari
1,345 Ha
4,22 Jam
0,087 Ha
2,681 Ha
7,596 MJ*
0,0435 Ha
|
* Berdasarkan
Inns (1980)
Tabel 2.10. Perbandingan Output
Energi Kerja Ternak
dan Manusia Terhadap
Produktivitas Lahan di Lokasi Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Uraian
|
Sapi
|
Manusia
|
Produktivitas lahan (Rp/tahun)
|
Usaha Tani Padi
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan
Usaha Tani Palawija
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan
|
13,30
4,22
428,6
1
17,34
4,22
556,1
1
|
80,9
6,0
1.920,0
4,5
105,8
6,0
2.539,2
4,7
|
220.643,8
328.607,9
|
Jumlah
|
549.251,7
|
Dengan demikian sumbangan tenaga
kerja ternak cukup berarti karena mampu menghemat pencurahan tenaga kerja
keluarga untuk setiap hektar usaha tani, yakni; sebesar 31,9 HPK (hari kerja
pria) untuk usaha tani padi dan 27,6 HKP untuk tanaman palawija. Hasil ini
merupakan suatu bukti bahwa introduksi ternak kerja akan memberikan peluang
kepada petani untuk mengalokasikan sisa waktu dan tenaganya, baik mobilitas
keluar bidang usaha lain ataupun kedalam (kegiatan intensifikasi dan
diversifikasi pemanfaatan lahan usaha tani).
Pengukuran dan pengamatan terhadap
luas garapan, intensitas dan pola tanam menunjukkan adanya keunggulan yang
cukup berarti bagi petani peserta P3TK-IFAD dibandingkan petani non proyek
P3TK. Terlihat bahwa pemilikan satuan ternak sapi cenderung berbanding lurus
dengan luas garapan, intensitas dan pola tanam.
Hasil prestasi di atas membuktikan
bahwa; a) introduksi ternak kerja mampu meningkatkan optimalisasi pemanfaatan
lahan usaha tani, b) adanya perubahan cara pemanfaatan lahan usaha tani bagi
petani di lahan usaha I, dan c) petani cenderung mengusahakan tanaman yang
memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bila dibandingkan dengan laporan
Departemen Pertanian (1985), kenyataan di atas relatif lebih baik, sebab petani
transmigran pada awal penempatannya mayoritas hanya mampu mengelola lahan
pekarangannya dengan intensitas penanaman yang relatif rendah (frekuensi tanam
dua kali setahun).
Analisis pendapatan yang diterima
petani dengan pendekatan yang dikemukakan Hadisaputro (1973), menunjukkan bahwa
pendapatan bersih (profit) usaha tani padi dan palawija, pendapatan petani
usaha tani ternak dan pendapatan rumah tangga lebih tinggi pada petani peserta
proyek P3TK-IFAD dibandingkan petani non peserta proyek. Perbedaannya berturut-turut tercatat sebesar
117,7%, 67,5% dan 38,8% sebagaimana
diperlihatkan pada Tabel 2.11 dan 2.12.
Implikasi dari data di atas ialah; a) lahan usaha tani yang diperuntukkan
untuk transmigrasi tidak lagi sekadar tempat memburuh (mengambil upah) bagi
petani, b) usaha tani palawija memberikan sumbangan yang lebih besar daripada
usaha tanaman lainnya (selain ternak) terhadap pendapatan keluarga tani, c)
sumbangan bidang usaha tani-ternak adalah terbesar bagi pendapatan rumah tangga
petani, dan d) pendapatan rumah tangga petani sudah termasuk kategori layak
setara dengan nilai tukar beras menurut
konsep Sayogio (Thee Kian Wie, 1983) seperti tampak pada Tabel 2.13.
Tabel 2.11.
Rataan Pendapatan Petani di Lokasi Transmigrasi Pasir
Pangarayan, 1987
(Rp).
Sumber Pendapatan
|
Kelompok Petani
|
Perbedaan
|
|
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
||
Padi
Palawija
Ternak
Usaha tani lainnya*
|
129.622,0
261.449,2
205.400,4
105.727,8
|
98.721,0
139.888,3
61.204,4
120.303,3
|
31,3
88,2
235,6
13,5
|
Jumlah
|
702.199,4
|
419.117,0
|
67,5
|
* Hasil
tanaman hortikultura dan tanaman tua dipekarangan.
Tabel 2.12.
Rataan Pendapatan Petani dan
Nilai Tukar Beras di Lokasi
Transmigrasi
Pasir Pangarayan,
1987
Sumber Pendapatan
|
Kelompok Petani
|
Perbedaan (%)
|
|
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
||
Pendapatan rumah tangga (Rp/tahun)
Jumlah jiwa/KK
Pendapatan per kapita (Rp/tahun)
Nilai tukar beras*
(Kg/kapita/tahun)
|
896.154,9
5,5
162.937,2
465,5
45,5**
|
645.633,6
4,7
137.368,8
392,5
22,7**
|
38,8
17,0
18,6
18,6
|
* Dikonversikan berdasarkan rataan harga
beras didaerah penelitian (Rp. 350/kg).
** Persentase perbedaan dari nilai tukar beras sebesar 320
kg/kapita/tahun.
Tabel 2.13.
Distribusi Pendapatan Petani
dari Usaha Tani
- Ternak di
Lokasi
Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Kelas Pendapatan
|
%tase Pendapatan Petani dari Usaha
Tani-Ternak
|
||
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
Gabungan
|
|
10% Teratas
20% Tertinggi
20% Sedang
20% Rendah
20% Terendah
40% Bawah
Angka Gini Ratio
|
22,3
34,5
23,4
19,2
14,5
8,4
22,9
0,244
|
23,6
40,4
22,9
16,5
12,5
7,7
20,2
0,303
|
24,9
39,0
24,5
17,6
11,8
7,1
18,9
0,306
|
*Dihitung
berdasarkan kriteria Kuznets dan Wolrd Bank menurut Sigit (1980).
Selain dipekerjakan untuk mengolah lahan, ternak juga dipergunakan untuk
hewan tarik, menarik gerobak pedati (sapi dan kerbau), menarik delman (kuda)
dan juga menjadi kuda beban didaerah terpencil. Jadi terlihat bagi petani
dengan lahan kecil, alternatif mekanisme pertanian kurang efektif dibandingkan
penggunaan tenaga kerja ternak.
Sumbangan lain dari tenaga kerja ternak kerbau dilaporkan oleh Ilyas dan
Laksmono (1995), bahwa seekor kerbau mampu membajak 1 Ha sawah dalam tempo 6,5
hari dan 1 Ha tanah kering dalam 10 hari. Pada era 1980-an, subsidi energi dari
tenaga kerja kerbau lumpur dalam mengolah tanah pertanian di Asia Tenggara
(Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar dan Thailand) mencapai
25% dari total energi yang dibutuhkan, jauh lebih besar dari subsidi mesin
pertanian, yakni 8%.
2.2. Ternak Penghasil Pupuk
Selain
manfaat ekonomis tenaga kerja, ternak (terutama ternak besar) juga menghasilkan
pupuk. Dilaporkan dari 2,8 juta ekor kerbau di Indonesia saja dapat dihasilkan
4.305.000 ton/hari yang dapat digunakan untuk memupuk 340.000 Ha tanah
pertanian dan meningkatkan produksi ± 30%, belum lagi dari 7 juta ekor sapi dan
kuda.
Berbeda
dengan penggunaan fertilizer (pupuk buatan) maka penggunaan pupuk ternak dapat
mempertahankan tekstur dan struktur tanah. Dengan kata lain dengan adanya pupuk
kandang, maka kerusakan lahan dapat dihindarkan, asal pupuk kandang diberikan
secara rasional.
Dilaporkan
oleh Aksi Agraris Kanisius (1978) potensi produksi pupuk dari berbagai ternak
sebagai berikut:
·
Sapi perah 12 ton/ekor/tahun
·
Sapi potong 8,5
ton/ekor/tahun
·
Sepasang domba 6
ton/2 ekor/tahun
·
Sepasang babi 16
ton/2 ekor/tahun
·
Kuda 8
ton/ekor/tahun
·
Sepasang ayam 4,5
ton/2 ekor/tahun
Produksi ini
hanya bisa dihasilkan
oleh ternak yang
dipelihara
secara insentif dalam kandang, sehingga
penggunaan pupuk bisa terarah. Sebaliknya pada pemeliharaan ekstensif tentu
saja semua pupuk dikembalikan ke tanah
tanpa dikontrol penggunaannya dalam rangka menyuburkan lahan pertanian.
3. Peranan Ternak Lainnya Bagi Manusia
Selain pentingnya ternak untuk
konsumsi daging, susu dan telur, masih terdapat sejumlah fungsi lain yang juga
mempunyai peranan ekonomis; untuk peningkatan pendapatan/tabungan, kulit
setelah disamak, tepung tulang, bahkan untuk obat-obatan, bahan industri,
ternak percobaan dan sebagai hiburan/hobby (fancy breeding), fungsi sosial
budaya untuk korban, perkawinan dan lainnya.
3.1. Ternak Sebagai Tambahan
Penghasilan/tabungan
Adanya kemampuan ternak untuk merubah rumput dan
limbah pertanian menjadi daging, susu dan tenaga, maka nilai tambah yang
dihasilkannya bisa menjadi sumber pendapatan dan tabungan bagi petani/peternak.
Biasanya petani membeli ternak setelah panen dan menjualnya kembali pada masa
paceklik atau sewaktu memerlukan dana ekstra/tunai guna memenuhi hajatnya.
3.2. Sebagai Bahan Industri
Sebagai bahan industri, produk ternak juga penting
artinya bagi manusia. Kulit yang telah disamak dipergunakan untuk sepatu, tas,
jaket, cornet beef, wool, lem, gelatin dan tepung tulang. Bahkan insulin untuk
pengobatan diabetes juga diektraksi dari pankreas sapi, babi dan kerbau.
3.3. Ternak Untuk Hewan Percobaan
Ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, banyak ternak
digunakan untuk hewan percobaan bagi penelitian ilmu kedokteran, farmasi dan
biologi sebelum diaplikasikan kepada manusia. Terkenal dengan sebutan “kelinci
percobaan” kendati tidak seluruhnya menggunakan kelinci tetapi bisa saja
monyet, tikus, ayam dan lain-lain.
3.4. Ternak Untuk Fungsi Sosial
Dalam kehidupan sosial, hewan/ternak sering menjadi
simbol status masyarakat, baik melalui upacara keagamaan, perkawinan dan pada
masyarakat primitif untuk sesajian. Bahkan sampai sekarang banyak upaca kemasyarakatan
yang memerlukan telur, ayam, babi, kambing dan sebagainya untuk kegiatan sosial
tertentu.
3.5. Ternak Untuk Rekreasi
Guna memenuhi fungsi hobby dan rekreasi, ternak
kadangkala mempunyai nilai ekonomis yang jauh melebihi nilai produknya.
Contohnya sapi karapan, kuda pacu, ayam sabung, dan tekukur mempunyai harga
istimewa bagi penggemarnya. Dengan menggunakan ternak ini mereka merasa mendapat hiburan untuk
menyenangkan jiwanya. Termasuk juga pemeliharaan ayam hias, ayam kokok tertentu
(Ayam Pelung di Jawa dan Ayam Kokok Balenggek di Sumatera Barat). Jelaslah
bahwa ternak telah menyatu dengan manusia sehingga fungsinya mulai dari
kepentingan gizi, ekonomis, sosial dan hiburan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009.
Budidaya dan Pengembangan Ternak. Dinas Peternakan. Jawa
Timur Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar