Sabtu, 05 Januari 2013

MANFAAT TERNAK UNTUK MANUSIA

Diposting oleh Rachmita Dewi di 03.53 0 komentar

TUGAS PENGANTAR ILMU PETERNAKAN
MANFAAT TERNAK TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA

 



OLEH :

RACHMITA DEWI S. TOBA
L1A1 12 025



                                                                                                                  



JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2012


MANFAAT TERNAK UNTUK MANUSIA

1.  Ternak Sebagai Sumber Protein Hewani
Disadari atau tidak sudah merupakan naluri manusia sejak awalnya memerlukan adanya sumber protein hewani disamping buah-buahan, serelia dan umbi-umbian dalam makanannya. Dalam perjuangan kehidupannya manusia sejak zaman purba telah melakukan perburuan dan memungut hasil tumbuhan untuk bahan pangan utama. Pada kehidupan “hunting and gathering” ini manusia perlu sumber protein hewani berasal dari hewan buruannya dan buah-buahan serelia sebagai sumber karbohidrat.
Dalam evolusi peradaban manusia, sumber protein ternyata mempunyai peranan dominan. Didaerah pantai dengan adanya perikanan (fishing and gathering) terdapat masyarakat yang lebih menetap, sehingga dikemudian hari menyebabkan suatu kehidupan sosial yang statis. Jika persediaan sumber perikanan terbatas mereka mengupayakan penangkapan ikan dalam batas-batas relatif dekat dengan tempat tinggalnya.Sifat ini sampai sekarang masih terlihat pada daerah pantai nelayan di Indonesia. Akibatnya masyarakat nelayan di Indonesia juga susah untuk mengembangkan perekonomiannya. Sebagai sumber karbohidrat lebih banyak mengandalkan umbi-umbian dan labu. Sampai sekarang nelayan Indonesia dapat dikelompokkan kepada “very lowest low income group”.
Pada masyarakat yang sumber proteinnya dengan berburu (hunting and gathering), mereka lebih mobil dan mudah pindah dari satu tempat kelokasi lain. Masyarakat ini lebih dinamis dan dengan ditemukannya tanaman biji-bijian telah merubah kehidupannya menjadi menetap pada berbagai tempat. Menurut Linores et al (1975) dalam perkembangan berikutnya, ternyata tanaman biji-bijian inilah yang memungkinkan munculnya peningkatan teknologi pertanian.
Gabungan konsumsi sumber protein dan karbohidrat ini menjadi sumber kalori guna menopang kehidupan manusia. Sampai tahun 1966, konsumsi sereal secara langsung dan tidak langsung (melalui makanan ternak dan ternaknya yang dimakan manusia pada berbagai negara, seperti pada Tabel 2.1 (Brown dan , Eckholn,1977).
Dengan naiknya pendapatan maka terdapat kecenderungan produk peternakan; daging, telur dan susu makin banyak dikonsumsi. Di Amerika Serikat sejak 1910-1950 konsumsi daging 60 lbs/kapita/tahun, tetapi tahun 1972 naik dari 63 lbs menjadi 116 lbs. Konsumsi daging ayam Amerika Serikat 1910-1940 kira-kira 16 lbs/orang/tahun, tetapi sejak 1940 naik menjadi 50 lbs. Kenaikan ini adalah karena daging ayam lebih murah dan adanya efisiensi produksi disamping adanya kesadaran kholesterol yang tinggi pada daging sapi dan babi. Konsumsi susu mencapai 900 lbs/kapita/tahun, dan menurun menjadi 555 lbs akhir-akhir ini karena perubahan preferensi konsumen dengan adanya “coffee snack”. Begitu pula konsumsi telur yang telah mencapai 400 butir/tahun.

Tabel 2.1. Konsumsi Sereal Diberbagai Negara (lb/kapita) 1966.
Negara
Sereal langsung
Melalui Makan Ternak
Total Sereal
Konsumsi berapa kali India

Kanada
Amerika Serikat
Uni Soviet
Inggris
Argentina
Jepang
China
India

202
200
344
169
223
320
312
288

1.791
1.441
   883
   856
   625
   211
   118
     60

1.993
1.641
1.227
1.025
   848
   531
   430
   348

5
5
4
3
2
2
1
1
            Indonesia diperkirakan setara dengan India.

Di Argentina dan Australia konsumsi daging mencapai 250 lbs/kapita/tahun; Perancis, Jerman Barat 200 lb dan Inggris 170 lb. Didaerah negara berkembang konsumsi baru mencapai 5-20 lbs/kapita/tahun. Demikianlah dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan (sadar gizi) maka konsumsi daging ternak mencapai 200-250 lbs/kapita/tahun, kemudian stabil. Dinegara berpendapatan rendah orang makan telur tidak lebih dari 2 butir sebulan.
Pembangunan Indonesia umumnya dan pembangunan peternakan khususnya, selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, meliputi lapangan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan gizi masyarakat. Pembangunan dalam Repelita VI dan PJP II yang dilaksanakan akan memberikan peluang dan harapan untuk mengejar ketinggalan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dibandingkan bangsa lain yang telah lebih maju.
Sejak awal, manusia purba melakukan perburuan, penangkapan ikan guna memenuhi kebutuhan akan protein hewani dalam makanannya, disamping memungut hasil hutan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, serta mineral. Disadari bahwa protein hewani mutlak diperlukan dalam makanan, karena tubuh memerlukan asam-asam amino esensial yang tidak bisa disintesis oleh tubuh, sehingga menjadikan protein hewani bernilai hayati tinggi.
Ciri khas dari protein hewani adalah lengkapnya asam-asam amino esensial yang dikandungnya, dan tinggi nilai hayatinya. Biological Value mencerminkan beberapa banyak zat N dari suatu protein dalam pangan yang dapat dimanfaatkan tubuh untuk sintesis protein tubuh dan bagian-bagiannya. Dari semua bahan pangan, telur memiliki nilai hayati paling tinggi (94-100). Semua protein asal ternak hewani mempunyai nilai hayati di atas 80 (Hardjosworo dan Levine, 1987).
Dilaporkan oleh Campbell dan Lasley (1985) bahwa nilai hayati protein ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensialnya. Protein hewani jauh lebih komplek daripada protein nabati (jagung), diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Persentase Asam Amino Hasil Ternak dan Jagung (%-/100 gram protein)
Asam Amino
Daging
Babi
Ayam
Susu
Telur
Jagung
Anginin*
Sistin
Histidin*
Isoleusin*
Leusin*
Lisin*
Metionin*
Penilalanin*
Threonin*
Triptofan*
Tirosin
Valin*
6,4
1,3
3,3
5,2
7,8
8,6
2,7
3,9
4,5
1,0
3,0
5,1
6,7
0,9
2,6
3,8
6,8
8,0
1,7
3,6
3,6
0,7
2,5
5,5
6,7
1,8
2,0
4,1
6,6
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
4,3
1,0
2,6
8,5
11,3
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
6,4
2,4
2,1
8,0
9,2
7,2
4,1
6,3
4,9
1,5
4,5
7,3
1,8
0,8
1,2
4,3
23,7
0,0
2,3
6,4
2,2
0,2
5,9
1,9
Total
52,8
46,4
48,5
64,1
63,9
50,7
* Asam Amino Esensial
            Belakangan terungkap bahwa protein asal ternak dan ikan sangat bertanggung jawab terhadap defisiensi mental pada anak balita. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak-anak prasekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi sub normal, bahkan defisiensi (Monckenberg, 1971).
Selain itu ternyata tidak hanya untuk kecerdasan, protein hewani sangat dibutuhkan untuk daya tahan tubuh sebagaimana dilaporkan oleh Shireki et al (1972), bahwa peranan protein hewani dapat menjauhkan pekerja keras dan atlit dari sport anemia dengan meningkatkan konsumsi protein hewani. Protein hewani juga berperan terhadap daya tahan butir darah merah sehingga tidak mudah pecah dan mempercepat regenerasi.

1.1 Konsumsi Protein Asal Ternak
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa tahun 2005, merupakan tantangan dan faktor dinamika yang penting. Apalagi kenaikan jumlah penduduk diiringi oleh naiknya pendapatan masyarakat dari US $70 tahun 1969 menjadi sekitar US $700 pada akhir PJP I. Akibatnya dalam pemenuhan akan pangan dan gizi, konsumsi keluarga mulai bergeser dari bahan nabati kebahan pangan hewani.
Widya Karya Pangan dan Gizi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menetapkan sektor peternakan hendaknya dapat memenuhi jumlah konsumsi empat gram protein asal ternak/kapita/hari yang setara dengan 6,0 kg daging, 4,0 kg telur dan 4,0 kg susu/kapita/tahun, walaupun target tersebut baru terpenuhi 71,25% pada 1989. Seterusnya Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1993 mentargetkan penduduk Indonesia mengkonsumsi energi 2100 kkal / kapita / hari   dan konsumsi protein asal ternak 6,0 gram/kapita/hari.
Perkembangan konsumsi daging, telur dan susu sejak tahun 1969-1994 diperlihatkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perkembangan Konsumsi Daging, Telur dan Susu Tahun 1969-1994.
Komoditi
1969
1989
1994
Kenaikan %/tahun

Konsumsi/tahun/ribu ton
Daging
Daging dalam negeri
Daging Impor

Konsumsi/kapita/tahun (kg)
Daging
Telur
Susu

Konsumsi/kapita/hari (gr)
Daging
Telur
Susu


311.4
309.3
2.1


2.7
0.23
1.46


1.2
0.10
0.10


973.1
971.1
2.0


5.69
2.12
3.72


1.8
0.72
0.33


1483.6
1469.2
14.4


7.78
2.67
4.58


2.52
0.85
0.4


9,33
9,18
58,40


6,9
6,25
4,07


7,51
4,83
3,74
Jumlah
1.40
2.85
3.77
6,27

            Ternyata konsumsi protein hewani asal ternak masih cukup rendah, yaitu 3,77 gr/kapita/hari atau 87% dari target normal gizi 4,5 gr/kapita/hari. Bandingkan dengan ASEAN yang telah mencapai 15 gr/kapita/hari. Pemerataan konsumsi protein asal ternak memperlihatkan kesenjangan yang cukup besar. Jumlah penduduk yang telah mencapai norma gizi 4,5 gr/kapita/hari barulah 18%, 78% masih dibawah 4,5 gr, sedangkan sekitar 4% penduduk hampir tidak pernah mengkonsumsi protein asal ternak. Adanya ketidakmerataan ini menyebabkan perlunya dua pola pemenuhan gizi; melalui sadar pangan dan gizi serta penyuluhan gizi seimbang bagi yang telah berlebihan. Menurut Tangendjaya (2002) konsumsi daging pada tahun 2002 telah mencapai 7,5 kg/kapita, telur 5,9 kg/kapita dan susu 6,2 kg/kapita, ini ditopang oleh peningkatan produksi daging 2 %,   babi 3 %   dan  ayam 6,4 % / tahun.  Saat  ini  daging   ayam memberikan konstribusi 56%, sapi 23% dan babi 13%.
Menurut Hardjosworo dan Levine (1987) ada beberapa sebab kesulitan mencapai standar gizi bagi masyarakat Indonesia, yakni;
1)      Mahalnya harga pangan yang berasal dari produk ternak diukur dari pendapatan masyarakat Indonesia. Mata rantai produksi hasil ternak jauh lebih panjang daripada produksi nabati sebelum sampai ketangan konsumen. Ternak memerlukan bahan makanan sebelum menghasilkan produknya. Untuk itu diperlukan pakan yang mesti ditanam atau dibeli terlebih dahulu. Apalagi untuk ternak impor, dimana kebanyakan pakan masih impor (tepung ikan, bungkil kedele, jagung dan lainnya). Sedangkan ternak lokal (ayam buras, sapi dan kerbau) masih rendah efisiensinya.
2)  Tidak tersedianya produk ternak (daging, susu dan telur) diseluruh pelosok Indonesia. Komoditi ini lebih menumpuk disekitar kota, tetapi ditempat yang jauh kurang tersedia. Selain itu adanya jurang antara pendapatan dan preferensi konsumen kota dengan desa. Adanya kenyataan sulitnya transportasi antar kepulauan juga mempersulit pengadaan hasil ternak sampai ketangan konsumen.
3)     Masih terbatasnya produksi hasil ternak Indonesia, baik daging, susu atau telur. Sampai sekarang untuk keperluan daging dan susu masih memerlukan impor yang memerlukan devisa tidak sedikit. Untung hal ini sudah agak teratasi oleh produksi unggas, tetapi tetap memerlukan impor pakan ayam. Ayam buras dan itik hampir menyebar merata keseluruh pelosok Insonesia.
4)  Faktor keempat adalah selera selektif konsumen terlepas dari faktor agama. Karena faktor kesukaan, banyak konsumen tidak bisa beralih mengkonsumsi ayam ras, tetapi ayam kampung. Demikian pula introduksi ternak non konvensional (kelinci, rusa, puyuh) kurang tersosialisasi. Dibandingkan dengan negara barat yang telah maju ekonominya, mereka memiliki variasi yang luas akan produk peternakannya.
Kendati produk peternakan relatif lebih mahal dibandingkan produk nabati, tetapi pada hakekatnya jika ditinjau dari availabilitas asam amino esensial protein hewani relatif jauh lebih menguntungkan dibandingkan sumber protein nabati yang kaya akan protein, seperti dilaporkan oleh Campbell dan Lasley (1985).
Tabel 2.4. Jumlah Hari  Yang Diperlukan  Untuk  Memproduksi  Sejumlah Setara Asam
     Amino Esensial Dari 1 Acre Lahan Dari Beberapa Bahan Pangan.
Bahan Pangan
Hari yang dibutuhkan

1.       Daging sapi
2.       Daging babi
3.       Daging ayam
4.       Susu
5.       Corn flakes
6.       Oat meal
7.       Rye flour
8.       Wheat flour (putih)
9.       Beras
10.    Beras merah
11.    Jagung kuning
12.    Wheat flour (penuh)
13.    Kacang/bean
14.    Pea, split
15.    Kacang kedele

77
129
185
236
354
395
485
527
654
772
773
877
1.116
1.785
2.220

Tabel 2.4. memperlihatkan betapa jauh lebih cepat waktu yang diperlukan untuk memproduksi asam amino dari sumber ternak dibandingkan dari produk tumbuhan. Apalagi jika produk tanaman tersebut mengandung anti protease seperti kebanyakan sumber kacang-kacangan.
Diantara produk ternak itu sendiri, maka terlihat bahwa produksi susu (sapi perah) relatif sangat efisien dalam pemanfaatan sumber energi, baik energi matahari maupun energi dari makanan untuk menjadi produk sebagaimana dilaporkan oleh Hodgson (1971) pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Konversi Energi, Protein dan Makanan Terhadap Produksi Ternak (%).
Produksi Ternak
Konversi Energi
Konversi Protein
Persentase Produk/ intake makanan

Susu
Ayam Broiler
Telur Ayam
Daging Babi
Kalkun
Daging Sapi
Daging Kambing/domba

20
10
15
15
10
8
6

30
25
20
20
20
15
10

90
45
33
30
29
10
7

1.2. Produksi Protein Asal Ternak
Perkembangan produksi daging rata-rata 9,2%, telur 6,95% dan susu 3,4% sampai akhir Pelita V (Tabel 2.3), ternyata belum mampu memenuhi target konsumsi di atas. Pada tahun 1989, Indonesia mengimpor daging sapi sebanyak 2000 ton, yang naik menjadi 14.000 ton pada tahun 1994, dan impor 365,2 ribu ton susu, setara susu segar pada tahun 1989 yang naik menjadi 544,4 ribu ton pada tahun 1994. Naiknya kebutuhan daging impor untuk memenuhi kebutuhan perhotelan/turisme yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga disebabkan oleh turunnya produksi ternak sapi, kerbau dan kambing (1993).
Konstribusi produksi daging  pada awal  Pelita I  didominasi oleh ternak ruminansia, yaitu 76,1%, non ruminansia 11,23% dan unggas 13,67%. Keadaan ini berubah menjadi 40,26% asal ruminansia, 14,18% non ruminansia dan 45,56% unggas pada tahun 1989 dan peranan unggas semakin nyata dalam mensuplai daging menjadi 59,6% pada tahun 1994, sedangkan daging ruminansia turun sampai 26,43% (Dirjen Peternakan, 1994). Pada awal Pelita I produksi telur asal ayam buras 53,55%, ayam ras petelur 7,27% dan itik 39,17%, maka dewasa ini telah berubah menjadi 16,64% ayam buras, 61,35% ayam ras, dan 22% telur itik. Keberhasilan peningkatan konsumsi walaupun belum memenuhi target dan kenaikan produksi asal ternak didukung oleh peningkatan populasi ternak itu sendiri seperti Tabel 2.3. Guna melihat peranan masing-masing ternak terhadap perkembangan populasi disajikan populasi ternak Indonesia dalam satuan ternak (Tabel 2.6 dan 2.7), dan dari kedua tabel ini dapatlah dilihat seberapa besarnya ketimpangan antara kebuhan dan produksi yang terjadi.

Tabel 2.6. Produksi Daging, Telur dan Susu 1969-1994.
Komoditi
1969
1989                (ribu ton)
1994
Kenaikan %/ tahun

Daging
Telur
Susu

309.3
57.5
28.9

971.1
456.2
338.2

1469.2
580.2
338.6

9,2
6,95
3,47

Pengelompokan ternak menurut sifat fisiologisnya pada awal PJP I ialah 11.3 juta Satuan Ternak (ST) dengan struktur; 78% ruminansia, 10% non ruminansia dan 12,9% unggas. Sampai akhir PJP I meningkat tiga kali , yaitu 32.4 juta ST dengan perubahan struktur; ruminansia 41,2%, non ruminansia 6,6% dan unggas 52,2% ST.

Tabel 2.7. Populasi Ternak Indonesia 1969-1994 (ribu ekor).
Jenis Ternak
1969
1994
Kenaikan/tahun (%)

Ruminansia:
Sapi potong
Sapi perah
Kerbau
Kambing
Domba

Non Ruminansia:
Babi
Kuda
Unggas:
Ayam buras
Ayam ras petelur
Ayam pedaging
Itik


6.447
52
2.940
7.544
2.908


2.875
642

61.788
688

7.200


11.010
330.
3.109
11.586
6.485


9.010
585

229.911
54.950
502.786
27.277


1,82
3,4
1,23
1,2
1,37


5,85
-3,71

3,8
7,08
19,17
2,38
Sumber: Dirjen Peternakan (1995
Sasaran pembangunan pertanian dalam PJP II ialah terciptanya sektor pertanian yang maju, efisien dan tangguh. Hal ini didasarkan oleh meningkatnya peranan sektor pertanian dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, terpenuhinya kebutuhan akan pangan, meningkatnya daya beli dan naiknya kemampuan penyediaan bahan baku untuk industri. Pada sisi lain ialah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat pertanian, penguasaan IPTEK dan keterpaduan sektor pertanian dengan sektor industri, jasa serta beralihnya kegiatan pertanian menuju agroindustri dan agribisnis.
Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertanian maka dalam Repelita VI sektor pertanian diperkirakan tumbuh rata-rata 3,4%/tahun. Untuk mencapai pertumbuhan 3,4%/tahun diharapkan pertumbuhan tanaman pangan dan hortikultura 2,5%, peternakan 6,4%, perkebunan 4,2% dan perikanan 5,2%/tahun. Sasaran penyerapan tenaga kerja 1.9 juta orang. Namun demikian sumbangan sektor pertanian terhadap PDB akan turun dari 20,2% pada tahun 1993 menjadi 17,6% pada tahun 1998.
Perkembangan peternakan selama PJP I tidak hanya meningkatkan populasi, tingkat konsumsi protein asal ternak dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga telah mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi ternak itu sendiri. Adanya program perbaikan mutu genetik melalui persilangan, impor bibit unggul, sapi bakalan, introduksi pakan unggul, konsentrat yang rasional, pencegahan penyakit ternak serta pengelolaan yang rasional dan belakangan pengelolaan telah pula mengarah pada agroindustri dan agribisnis telah mampu secara berangsur, namun pasti meningkatkan produktivitas ternak setiap tahunnya.
Efisiensi produksi daging ternak ruminansia meningkat dari 26.6 kg menjadi 40.39 kg/ST/tahun, kenaikan produktivitas 2,07% ternak non ruminansia naik sebesar 5,8% dari 34.41 kg menjadi 84.30 kg/ST/tahun, dan ternak unggas naik 2,18%/tahun, yaitu dari 26,70 kg/ST menjadi 41.27 kg/ST/tahun selama PJP I.
Meningkatnya efisiensi produksi daging ternak ruminansia disebabkan oleh berkembangnya usaha agribisnis sapi potong dengan bibit impor. Sampai tahun 1994 tiap tahunnya diimpor sapi bakalan sebanyak 80.000 ekor dengan nilai US $45.000.000/tahun. Selain itu juga karena meningkatnya peternak yang beralih usaha kepada usaha penggemukan sapi potong dengan pemeliharaan yang mengarah kepada agribisnis, sapi sepenuhnya dikandangkan secara ekonomis dengan pemberian konsentrat tinggi dan hijauan pakan bermutu. Tidak heran dewasa ini mulai dirasakan kesulitan akan sapi bakalan yang akan digemukkan sehingga terdapat trend kenaikan harga sapi dan daging sapi yang semakin tinggi tiap tahunnya.
Pada ternak non ruminansia, terutama babi terjadi peningkatan produktivitas yang sangat menonjol. Hal ini disebabkan berkembangnya peternakan babi yang berorientasi ekspor dengan bibit unggul impor. Sampai tahun 1994 rata-rata ekspor babi sebanyak 185.000 ekor tiap tahunnya. Keunggulan komparatif yang dimiliki babi sayangnya tidak bisa dimanfaatkan untuk konsumsi protein asal ternak rakyat Indonesia yang mayoritas pemeluk agama islam.
Meningkatnya efisiensi produksi daging unggas berasal dari ayam broiler yang berkembang sampai 12%/tahun pada akhir PJP I. selain naiknya populasi, secara teknis disebabkan oleh semakin efisiennya produksi ayam pedaging, dimana pada umur 7 minggu beratnya telah mencapai 3.050 gram dengan konversi 1,99.

2. Peranan Ternak Dibidang Pertanian
Selain sebagai sumber protein dan kalori tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat negara maju, selain memerlukan konsumsi pangan nabati, ternak  dimanfaatkan dibidang pertanian antara lain sebagai, sumber tenaga kerja, pupuk, tabungan serta penambal resiko usaha tani.
2.1.  Ternak Sebagai Sumber Tenaga Kerja
Inovasi pertanian yang sangat banyak menaikkan kapasitas produksi pangan adalah digunakannya hewan untuk mengolah tanah. Hal ini telah berlangsung setelah digunakannya irigasi sejak 3000 SM. Kemajuan baru ini telah memungkinkan penggunaan bagian-bagian makanan kasar (roughage) bentuk energi yang tidak dapat dicerna manusia, tetapi dapat dicerna oleh hewan menjadi produk ternak yang kemudian dapat dimakan manusia.
Pemakaian binatang tarik telah memperbesar tenaga otot manusia yang terbatas menjadi lebih besar untuk menghasilkan tanaman pangan. Dan bersamaan dengan penggunaan binatang tarik, munculah kota-kota tua (Brown dan Ekholn, 1977).
Kendati penggunaan mesin pertanian telah berkembang sampai batas-batas tertentu, ternak tetap digunakan sebagai tenaga tarik dan tenaga kerja ditanah pertanian (Indonesia, Laos, Thailand, Afrika dan India). Penggunaan sumber energi mesin tampaknya hanya efisien pada lahan yang luas, sedangkan rata-rata luas garapan petani di Asia dan Indonesia jauh dibawah 2 Ha perkeluarga. Penelitian oleh Inns (1980) di Tanzania membuktikan penggunaan tenaga kerja  ternak jauh lebih menguntungkan dibandingkan traktor yang menghendaki paling sedikit lahan seluas 150 Ha. Potensi tenaga kerja manusia, ternak dan traktor 50 KW diperlihatkan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Potensi Tenaga Kerja Manusia, Ternak dan 50 KW Traktor.
Uraian
Manusia
Kuda
Sapi
Keledai
Traktor 50 KW

Kecepatan (m/detik)
Tenaga (KW)
Jam Kerja (jam/hari)
Output Kerja (MJ)

-
     0,20
6
4

   1,0
     0,50
6
10

   1,0
     0,50
5
9

   1,0
      0,40
 4
 6

      2,5
25
8,24
720-2.160
* 1 KW = 1,34 Horse Power

Selain kemampuan di atas, tenaga ternak bisa juga memberikan pupuk, anak dan dagingnya dalam bentuk “salvage value” sebesar 80%, sedangkan traktor memerlukan biaya perawatan, solar dan oli yang tinggi dengan masa pakai 5 tahun dan hanya menghasilkan salvage value 20%.
Penelitian Abbas dan Arifin (1990) didaerah transmigrasi Pasir Pangarayan Riau, memperlihatkan penggunaan tenaga kerja ternak sapi dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja manusia dan meningkatkan serta pemerataan pendapatan petani/peternak.
Prestasi kerja ternak proyek P3TK-IFAD yang mempekerjakan sapi, pada Tabel 2.8 dan perbandingan output energi tenaga kerja pada Tabel 2.9.
Prestasi kerja seperti di atas ternyata dapat memperkecil energi kerja yang dikerahkan tenaga manusia terhadap produktivitas lahan. Perbandingan energi yang dihasilkan ternak dan manusia terhadap produktivitas lahan sekitar 1:4,6 Ha seperti terlihat pada Tabel 2.10. Angka ini sedikit lebih rendah dari prestasi kerja ternak sapi yang dilaporkan oleh Inns (1980), yakni sebesar 5 jam/hari.

Tabel 2.9. Prestasi  Ternak  Sapi  P3TK- IFAD   di Lokasi    Transmigrasi    Pasir
       Pangarayan,    1987.
Uraian
Prestasi

Hari kerja setahun
Kemampuan garap per ekor/tahun
Jumlah jam kerja/hari
Kemampuan garap sepasang/hari
Kemampuan garap sepasang/tahun
Output kerja per hari (Mega Joule)
Kemampuan garap per ekor/hari

30,64 hari
1,345 Ha
4,22 Jam
0,087 Ha
2,681 Ha
7,596 MJ*
0,0435 Ha
* Berdasarkan Inns (1980)

Tabel 2.10. Perbandingan   Output   Energi   Kerja    Ternak   dan   Manusia    Terhadap
       Produktivitas Lahan di Lokasi Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Uraian
Sapi
Manusia
Produktivitas lahan (Rp/tahun)

Usaha Tani Padi
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan

Usaha Tani Palawija
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan


     13,30
       4,22
428,6
 1


     17,34
       4,22
556,1
 1


80,9
6,0
1.920,0
4,5


105,8
6,0
2.539,2
4,7





220.643,8





328.607,9
Jumlah


549.251,7

Dengan demikian sumbangan tenaga kerja ternak cukup berarti karena mampu menghemat pencurahan tenaga kerja keluarga untuk setiap hektar usaha tani, yakni; sebesar 31,9 HPK (hari kerja pria) untuk usaha tani padi dan 27,6 HKP untuk tanaman palawija. Hasil ini merupakan suatu bukti bahwa introduksi ternak kerja akan memberikan peluang kepada petani untuk mengalokasikan sisa waktu dan tenaganya, baik mobilitas keluar bidang usaha lain ataupun kedalam (kegiatan intensifikasi dan diversifikasi pemanfaatan lahan usaha tani).
Pengukuran dan pengamatan terhadap luas garapan, intensitas dan pola tanam menunjukkan adanya keunggulan yang cukup berarti bagi petani peserta P3TK-IFAD dibandingkan petani non proyek P3TK. Terlihat bahwa pemilikan satuan ternak sapi cenderung berbanding lurus dengan luas garapan, intensitas dan pola tanam.
Hasil prestasi di atas membuktikan bahwa; a) introduksi ternak kerja mampu meningkatkan optimalisasi pemanfaatan lahan usaha tani, b) adanya perubahan cara pemanfaatan lahan usaha tani bagi petani di lahan usaha I, dan c) petani cenderung mengusahakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bila dibandingkan dengan laporan Departemen Pertanian (1985), kenyataan di atas relatif lebih baik, sebab petani transmigran pada awal penempatannya mayoritas hanya mampu mengelola lahan pekarangannya dengan intensitas penanaman yang relatif rendah (frekuensi tanam dua kali setahun).
Analisis pendapatan yang diterima petani dengan pendekatan yang dikemukakan Hadisaputro (1973), menunjukkan bahwa pendapatan bersih (profit) usaha tani padi dan palawija, pendapatan petani usaha tani ternak dan pendapatan rumah tangga lebih tinggi pada petani peserta proyek P3TK-IFAD dibandingkan petani non peserta proyek. Perbedaannya berturut-turut tercatat sebesar 117,7%, 67,5%  dan 38,8% sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.11 dan 2.12.
Implikasi dari data di atas ialah; a) lahan usaha tani yang diperuntukkan untuk transmigrasi tidak lagi sekadar tempat memburuh (mengambil upah) bagi petani, b) usaha tani palawija memberikan sumbangan yang lebih besar daripada usaha tanaman lainnya (selain ternak) terhadap pendapatan keluarga tani, c) sumbangan bidang usaha tani-ternak adalah terbesar bagi pendapatan rumah tangga petani, dan d) pendapatan rumah tangga petani sudah termasuk kategori layak setara  dengan nilai tukar beras menurut konsep Sayogio (Thee Kian Wie, 1983) seperti tampak pada Tabel 2.13.
Tabel 2.11. Rataan   Pendapatan   Petani di Lokasi Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987
      (Rp).
Sumber Pendapatan
Kelompok Petani
Perbedaan
P3TK-IFAD
Non P3TK-IFAD

Padi
Palawija
Ternak
Usaha tani lainnya*

129.622,0
261.449,2
205.400,4
105.727,8

  98.721,0
139.888,3
  61.204,4
120.303,3

   31,3
   88,2
235,6
   13,5
Jumlah
702.199,4
419.117,0
   67,5
* Hasil tanaman hortikultura dan tanaman tua dipekarangan.

Tabel 2.12. Rataan   Pendapatan   Petani dan  Nilai  Tukar Beras di Lokasi Transmigrasi
                   Pasir Pangarayan, 1987
Sumber Pendapatan
Kelompok Petani
Perbedaan (%)
P3TK-IFAD
Non P3TK-IFAD

Pendapatan rumah tangga (Rp/tahun)
Jumlah jiwa/KK
Pendapatan per kapita (Rp/tahun)
Nilai tukar beras*
(Kg/kapita/tahun)

896.154,9
            5,5
162.937,2
       465,5
             45,5**

645.633,6
            4,7
137.368,8
        392,5
              22,7**

 38,8
17,0
18,6
18,6
*    Dikonversikan berdasarkan rataan harga beras didaerah penelitian (Rp. 350/kg).
** Persentase perbedaan dari nilai tukar beras sebesar 320 kg/kapita/tahun.
Tabel 2.13. Distribusi   Pendapatan     Petani   dari   Usaha   Tani  -  Ternak   di   Lokasi
                   Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Kelas Pendapatan
%tase Pendapatan Petani dari Usaha Tani-Ternak
P3TK-IFAD
Non P3TK-IFAD
Gabungan

10% Teratas
20% Tertinggi
20% Sedang
20% Rendah
20% Terendah
40% Bawah
Angka Gini Ratio

 22,3
 34,5
 23,4
 19,2
 14,5
   8,4
 22,9
       0,244

 23,6
 40,4
 22,9
 16,5
 12,5
   7,7
20,2
       0,303

 24,9
 39,0
 24,5
 17,6
 11,8
   7,1
 18,9
       0,306
*Dihitung berdasarkan kriteria Kuznets dan Wolrd Bank menurut Sigit (1980).

Selain dipekerjakan untuk mengolah lahan, ternak juga dipergunakan untuk hewan tarik, menarik gerobak pedati (sapi dan kerbau), menarik delman (kuda) dan juga menjadi kuda beban didaerah terpencil. Jadi terlihat bagi petani dengan lahan kecil, alternatif mekanisme pertanian kurang efektif dibandingkan penggunaan tenaga kerja ternak.
Sumbangan lain dari tenaga kerja ternak kerbau dilaporkan oleh Ilyas dan Laksmono (1995), bahwa seekor kerbau mampu membajak 1 Ha sawah dalam tempo 6,5 hari dan 1 Ha tanah kering dalam 10 hari. Pada era 1980-an, subsidi energi dari tenaga kerja kerbau lumpur dalam mengolah tanah pertanian di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar dan Thailand) mencapai 25% dari total energi yang dibutuhkan, jauh lebih besar dari subsidi mesin pertanian, yakni 8%.

            2.2.      Ternak Penghasil Pupuk
Selain manfaat ekonomis tenaga kerja, ternak (terutama ternak besar) juga menghasilkan pupuk. Dilaporkan dari 2,8 juta ekor kerbau di Indonesia saja dapat dihasilkan 4.305.000 ton/hari yang dapat digunakan untuk memupuk 340.000 Ha tanah pertanian dan meningkatkan produksi ± 30%, belum lagi dari 7 juta ekor sapi dan kuda.
Berbeda dengan penggunaan fertilizer (pupuk buatan) maka penggunaan pupuk ternak dapat mempertahankan tekstur dan struktur tanah. Dengan kata lain dengan adanya pupuk kandang, maka kerusakan lahan dapat dihindarkan, asal pupuk kandang diberikan secara rasional.
Dilaporkan oleh Aksi Agraris Kanisius (1978) potensi produksi pupuk dari berbagai ternak sebagai berikut:
·        Sapi perah                          12 ton/ekor/tahun
·        Sapi potong                       8,5 ton/ekor/tahun
·        Sepasang domba               6 ton/2 ekor/tahun
·        Sepasang babi                    16 ton/2 ekor/tahun
·        Kuda                                 8 ton/ekor/tahun
·        Sepasang ayam                  4,5 ton/2 ekor/tahun

Produksi ini hanya  bisa  dihasilkan  oleh  ternak  yang  dipelihara
secara insentif dalam kandang, sehingga penggunaan pupuk bisa terarah. Sebaliknya pada pemeliharaan ekstensif tentu saja semua pupuk  dikembalikan ke tanah tanpa dikontrol penggunaannya dalam rangka menyuburkan lahan pertanian.

3.    Peranan Ternak Lainnya Bagi Manusia
Selain pentingnya ternak untuk konsumsi daging, susu dan telur, masih terdapat sejumlah fungsi lain yang juga mempunyai peranan ekonomis; untuk peningkatan pendapatan/tabungan, kulit setelah disamak, tepung tulang, bahkan untuk obat-obatan, bahan industri, ternak percobaan dan sebagai hiburan/hobby (fancy breeding), fungsi sosial budaya untuk korban, perkawinan dan lainnya.

            3.1.      Ternak Sebagai Tambahan Penghasilan/tabungan
Adanya kemampuan ternak untuk merubah rumput dan limbah pertanian menjadi daging, susu dan tenaga, maka nilai tambah yang dihasilkannya bisa menjadi sumber pendapatan dan tabungan bagi petani/peternak. Biasanya petani membeli ternak setelah panen dan menjualnya kembali pada masa paceklik atau sewaktu memerlukan dana ekstra/tunai guna memenuhi hajatnya.

            3.2.      Sebagai Bahan Industri
Sebagai bahan industri, produk ternak juga penting artinya bagi manusia. Kulit yang telah disamak dipergunakan untuk sepatu, tas, jaket, cornet beef, wool, lem, gelatin dan tepung tulang. Bahkan insulin untuk pengobatan diabetes juga diektraksi dari pankreas sapi, babi dan kerbau.

3.3.      Ternak Untuk Hewan Percobaan
Ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, banyak ternak digunakan untuk hewan percobaan bagi penelitian ilmu kedokteran, farmasi dan biologi sebelum diaplikasikan kepada manusia. Terkenal dengan sebutan “kelinci percobaan” kendati tidak seluruhnya menggunakan kelinci tetapi bisa saja monyet, tikus, ayam dan lain-lain.

            3.4.      Ternak Untuk Fungsi Sosial
Dalam kehidupan sosial, hewan/ternak sering menjadi simbol status masyarakat, baik melalui upacara keagamaan, perkawinan dan pada masyarakat primitif untuk sesajian. Bahkan sampai sekarang banyak upaca kemasyarakatan yang memerlukan telur, ayam, babi, kambing dan sebagainya untuk kegiatan sosial tertentu.
            3.5.      Ternak Untuk Rekreasi
Guna memenuhi fungsi hobby dan rekreasi, ternak kadangkala mempunyai nilai ekonomis yang jauh melebihi nilai produknya. Contohnya sapi karapan, kuda pacu, ayam sabung, dan tekukur mempunyai harga istimewa bagi penggemarnya. Dengan menggunakan ternak ini mereka merasa mendapat hiburan untuk menyenangkan jiwanya. Termasuk juga pemeliharaan ayam hias, ayam kokok tertentu (Ayam Pelung di Jawa dan Ayam Kokok Balenggek di Sumatera Barat). Jelaslah bahwa ternak telah menyatu dengan manusia sehingga fungsinya mulai dari kepentingan gizi, ekonomis, sosial dan hiburan.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Budidaya dan Pengembangan Ternak. Dinas Peternakan. Jawa
Timur Indonesia



 

Mine^^ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review